BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pada dekade terakhir ini semakin merebak
perdebatan tentang ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan. Terutama
Islam, banyak orang yang mulai mempertanyakan ajaran-ajaran agama yang terkesan
bias gender. Dalam beberapa tradisi agama ditemukan beberapa hal yang terkesan
mendiskreditkan perempuan. Islam, yang secara normatif mengajarkan kesetaraan
laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari pemahaman bias gender. Hal ini
mengandung tanda tanya besar di kalangan pemeluknya. Adakah kesalahan terletak
pada teksnya ataukah pada cara memahaminya? Mungkinkah Islam mengajarkan
prinsip kesetaraan itu memuat hal yang kontradiktif, seperti memandang rendah
perempuan? Untuk mengungkap berbagai persoalan tersebut diperlukan kajian mendalam
tentang ajaran Islam dari aspek tekstual dan kontekstualnya. Dalam makalah ini
penulis membagi pembahasan menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Definisi dan Konsep gender
2.
Gender dalam pandangan Islam
3.
Feminisme dan Feminis Muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi dan Konsep Gender
Kata Gender berasal dari Bahasa Inggris
gender yang berarti jenis kelamin. Menurut Nasaruddin Umar, pengertian ini
kurang tepat, sebab dengan pengertian tersebut Gender disamakan dengan sex yang
berarti jenis kelamin pula. Persoalan ini muncul barangkali adalah karena kata
Gender termasuk kosa kata baru, sehingga pengertiannya belum ditemukan dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia[1].
Meskipun kata Gender belum masuk dalam
perbendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim
dipergunakan, khususnya, di Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dengan ejaan
„Gender‟. Gender diartikan sebagai penafsiran yang bersifat mental
(interpretasi mental) dan budaya (cultural) terhadap perbedaan kelamin,
laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang tepat bagi laki-laki dan perempuan[2].
Gender sebagai alat analisis umumnya
digunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian
pada ketidakadilan struktural dan sistem. Gender adalah perbedaan yang bukan
biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis dan perbedaan jenis kelamin
adalah kodrat Tuhan sehingga secara permanen berbeda. Sementara gender adalah
behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang
socially-constructed, yaitu perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan
Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses
panjang dalam kehidupan sosial dan budaya[3].
Istilah gender digunakan berbeda dengan
sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi sosial- budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih
banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek
non-biologis lainnya[4].
Mansoer Fakih menguraikan pengertian Gender
secara lebih detail beserta contoh contohnya. Menurutnya, Gender adalah sifat
yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional,
dan keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Ciri-ciri dan sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara
ada juga perempuan yang rasional, kuat dan perkasa[5].
Perubahan ciri dan sifat-sifat tersebut dapat
terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Jadi yang disebut
Gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan
perempuan yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta dapat berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain. Oleh
karena itu pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar
dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan
tanggung jawab antara kaum perempuan dan laki-laki.
B.
Gender dalam Pandangan Islam
Berbicara tentang Gender, sama artinya dengan
berbicara sekitar hubungan wanita dan pria. Berbicara hubungan wanita dan pria
dalam Islam pada prinsipnya dapat disebut sama artinya dengan berbicara sekitar
kemitrasejajaran pria dan wanita. Sebab dalam Islam secara prinsip hubungan
kedua jenis kelamin ini adalah sejajar di hadapan Allah (khaliq).
Ada sejumlah nash yang berbicara tentang
kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki yang dapat dikelompokkan minimal
menjadi delapan, yakni: (1) statemen umum tentang kesetaraan wanita dan pria,
(2) asal usul, (3) „Amal, (4)saling kasih dan mencintai, (5) keadilan dan
persamaan, (6) jaminan sosial, (7) saling tolong menolong, dan (8) kesempatan
mendapat pendidikan. (Khoeruddin Nasution, 2007:185).
Adapun sebab-sebab lahirnya konsep bias
Gender dalam Islam adalah sebagai akibat dari sepuluh faktor, yakni: (1)
Penggunaan studi Islam yang parsial, (2) Belum ada kesadaran pentingnya
pembedaan nash menjadi normatif-universal dengan praktistemporal, (3) terkesan
sejumlah Nash memarginalkan wanita, sebagai akibat penggunaan parsial, (4)
budaya-budaya Muslim merasuk terhadap ajaran Islam, (5) dominasi teologi
laki-laki dalam memahami nash, (6)kajian Islam dengan pendekatan agama murni,
(7) generalisasi (mengambil hukum umum) dari kasus khusus, (8) mengambil hukum
sebagai produk hukum dari penetapan hukum berdasarkan siyasah al-Syar‟iyah, (9)
kajian Islam yang literalis dan historis (tekstual), dan (10) peran Kekuasaan
(penguasa). (Khoeruddin Nasution, 2007:185). Sebenarnya, dalam Islam
telah ditetapkan bahwa kedudukan wanita antara lain sebagai berikut:
1. Wanita adalah rekan, pasangan pria.
Pria adalah pasangan wanita (An- Nisa : 1, an-Nahl :72, al- Baqarah:187, ar-
Ruum :21, al- A‟raf :189, at- taubah :71, al- Hujurat :13)
2. Wanita dan pria sama-sama mendapatkan
pahala atas pandangan, sikap, dan perbuatan mereka di dunia (al- Ahzab:35, al-
Jin :38, al- Imran:195)
3. Iman pria dan wanita dinilai sama
dalam pandangan Islam (al- Ahzab:35, al- Buruj : 10, Muhammad:19)
4. Wanita dan pria sama-sama dapat berusaha memperoleh,
memiliki dan membelanjakan harta kekayaan (al- Insyirah:4,32)
5. Wanita dan pria sama-sama memiliki
hak waris (an- Nisa : 7)
6. Kaidah pokok pernikahan Islam adalah
monogami sedang poligami diizinkan sebagai tidakan darurat.(Anshari,1994:76).
Al qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction)
antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan
(discrimination) yang menguntungan satu pihak dan merugikan pihak lainya.
Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok al qur‟an, yaitu
terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa
rahmah) dilingkungan keluarga. Hal tersebut merupakan cikal bakal terwujudnya
komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur). Ini semua bisa terwujud manakala ada pola
keseimbangan dan keserasian antara keduanya (laki-laki dan perempuan).
Islam menempatkan perempuan pada posisi
yang sama dengan laki- laki. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama,
dari hakikat kemanusiaanya. Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan dalam
rangka peningkatan kualitas kemanusiaanya. Hak tersebut antara lain : waris
(QS.AnNisa/4 : 11), persaksian (QS.Al- Baaqarah/2 : 282), aqiqah
(QS.AT-Taubah/9 :21), dan lain lain.
Kedua,
Islam mengajarkan bahwa baik perempuan maupun laki laki mendapat pahala yang
sama atas amal shaleh yang dibuatnya. Sebaliknya, laki-laki dan perempuan
memperoleh azab yang sama atas pelanggaran yang diperbuatnya.
Ketiga, Islam
tidak mentolelir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antar umat manusia.
Hal ini ditegaskan dalam firmanNya :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya : “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat :13)
Dari ayat tersebut tampak jelas bagaimana hubungan antara
laki- laki dan perempuan diatur oleh norma agama. Ayat tersebut sekaligus
memberi penjelasan bahwa pada dasarnya diciptakan sama, meskipun berasal dari
bangsa atau suku yang berlainan. Secara lebih jelas, hubungan antar jenis
kelamin atu prinsip gender dalam Islam ditegaskan dalam (QS.Al-Azhab/33 : 35)
¨bÎ)
úüÏJÎ=ó¡ßJø9$#
ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur
úüÏZÏB÷sßJø9$#ur
ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur
tûüÏGÏZ»s)ø9$#ur ÏM»tFÏZ»s)ø9$#ur
tûüÏ%Ï»¢Á9$#ur
ÏM»s%Ï»¢Á9$#ur
tûïÎÉ9»¢Á9$#ur
ÏNºuÉ9»¢Á9$#ur
tûüÏèϱ»yø9$#ur ÏM»yèϱ»yø9$#ur
tûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#ur ÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#ur
tûüÏJÍ´¯»¢Á9$#ur ÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#ur
úüÏàÏÿ»ptø:$#ur öNßgy_rãèù ÏM»sàÏÿ»ysø9$#ur
úïÌÅ2º©%!$#ur
©!$# #ZÏVx.
ÏNºtÅ2º©%!$#ur
£tãr& ª!$#
Mçlm;
ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $VJÏàtã
ÇÌÎÈ
Artinya : Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218][6],
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.
Jika kita meletakkan beberapa ayat
diatas secara bersama-sama dan melihatnya secara tepat sesuai dengan dimensi
waktu, jelaslah bahwa Allah tidak membeda-bedakan jenis kelamin atau kodrat
yang dibawa sejak lahir. Lalu, bagaimana dengan kemunculan beberapa hadist yang
terkesan memojokkan perempuan, sehingga membentuk rasa benci terhadap perempuan
? dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (hubungan Gender) ada sebuah
hadist yang sangat populer dan terkesan memojokkan perempuan, yaitu : “Tidak akan beruntung suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinanya kepada perempuan.”
Pembacaan hadist diatas harus dilakukan
secara kritis. Hadist ini tidak dapat diterjemahkan bila dihadapkan pada
bukti-bukti sejarah. Bahkan Islam sendiri mengabadikan kesuksesan kepemimpinan
perempuan sebagaimana dilukiskan dalam diri Ratu Balqis. Kisah kebesaran Ratu
Balqis diuraikan paling tidak dalam dua surah yakni an- Naml dan al-Anbiya‟.
Ada sementara pendapat yang mengatakan, bisa
jadi as-bab al- wurud hadist ini merupakan respons spontan Nabi terhadap
keinginan Raja Kisra di Persia untuk mewariskan kepemimpinan kepada anak
perempuanya yang memang belum siap saat itu.
Bagaimana pula terhadap hadist yang
emngatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok ? Dalam
sebuah hadist disebutkan: Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nasihatilah olehmu wanita, sebab wanita itu tercipta dari tulang rusuk
yang bengkok, jika kau paksa meluruskanya dengan kekerasan, pasti dia akan
tetap bengkok. Karena itu, nasihatilah olehmu wanita.”
Hadist
tersebut memberikan kesan bahwa perempuan merupakan ciptaan kedua, sementara laki-laki adalah
ciptaan pertama dan utama. Tentu saja
yang dimaksud laki-laki disini adalah Adam dan yang perempuan adalah Hawa.
Ketika hadist ini diuji dan
diperbandingkan dengan ayat-ayat Al- Qur‟an ada 30-an ayat yang berbicara
tentang penciptaan manusia-tak satupun ayat yang dapat ditafsirkan sebagai
penegasan atau merujuk pada keyakinan bahwa laki-laki diciptakan terlebih
dahulu ketimbang perempuan atau bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki. Beberapa ayat dapat
ditafsirkan bahwa penciptaan pertama (nafsin
wahidah) justru bersifat perempuan, bukan laki-laki.
Dengan demikian, jelas bahwa hubungan antara laki-laki
dan perempuan merupakan hubungan kemitraan yang sejajar. Sekali lagi, ini
ditegaskan dalam firman-Nya (Q.S. at-Taubah/9 : 71).
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/
4 crâßDù't Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztur
Ç`tã Ìs3ZßJø9$# cqßJÉ)ãur
no4qn=¢Á9$#
cqè?÷sãur
no4qx.¨9$#
cqãèÏÜãur ©!$#
ÿ¼ã&s!qßuur
4 y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgçHxq÷zy ª!$#
3 ¨bÎ)
©!$# îÍtã ÒOÅ3ym ÇÐÊÈ
Artinya : “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi
rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
C.
Feminisme
dan Feminis Muslim
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua orang
Feminis dari Asia Selatan, tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang
dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua feminis dalam semua waktu dan
disemua tempat. Karena feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan
teoritisnya dari
suatu rumusan teori tunggal. Definisi feminisme berubah- ubah sesuai dengan
perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi lahirbya faham ini, dan
perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para
feminis itu sendiri[7].
Menurut kaum feminis, penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
sebagaimana yang diungkapkan dalam definisi diatas hanyalah salah satu saja
dari fenomena ketidakadilan gender (gender ineaqualities) yang menimpa kaum
perempuan. Secara lebih lengkap Mansour Fakih, seorang feminis Muslim Indonesia
menyebutkan lima fenomena ketidakadilan gender lainnya yaitu :
1) Marginalisasi perempuan baik
di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan
bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada kemiskinan
ekonomi perempuan.
2) Subordinasi terhadap
perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional,
maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi
yang tidak penting.
3) Stereotype yang merugikan kaum
perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing
perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau
pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Masyarakat punya
kecenderungan menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan akibat stereotype
tadi.
4) Berbagai bentuk kekerasan
menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan
lemah dibandingkan dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan
kekerasan terhadap perempuan.
5) Pembagian kerja secara seksual yang merugikan
kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh
sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki.
Akibatnya peremuan terkurung dalam ruang
dan wawasan yang sempit.
Karena kesadaran akan penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan hanyalah salah satu saja dari kesadaran terhadap
ketidakadilan gender, maka kiranya menurut hemat penulis, feminisme lebih tepat
kalau didefinisikan sebagai berikut : “Kesadaran
akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga
maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut.
“Dalam analisis feminisme, sejarah
perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui
proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal,diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat
bahkan dikonstruksi secara sosial,kultural, melaui ajaran keagamaan bahkan oleh
negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap
menjadi ketentuan Tuhan—seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah
lagi. Kodrat laki-laki dan kodrat perempuan dipahami sebagai perbedaan gender.
Misalnya sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosional yang dimiliki
oleh kaum perempuan dikatakan sebagai kodrat kaum perempuan.
Karena perspektif ekofeminisme tidak
lagi sejalan dengan paradigma utama feminisme yaitu menolak konsep gender
sebagai sesuatu yang kodrati tapi merupakan hasil konstruksi sosio-kultural,
maka dalam pembahasan selanjutnya penulis tidak akan memasukkan ekofeminisme
sebagai salah satu dari aliran-aliran feminisme, apalagi aliran ini belum
merupakan aliran yang besar dibandingkan dengan keempat aliran yang akan
diuraikan di bawah ini.
1.
Feminisme Liberal
Dasar filosofis gerakan aliran ini
adalah liberalisme, yakni bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang
sama, dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan
dirinya.
Bagi kaum feminis liberal ada dua cara untuk mencapai
tujuan ini. Pertama adalah melakukan pendekatan psikologis dengan cara
membangkitkan kesadaran individu, antara lain melalui diskusi-diskusi yang
membicarakan pengalaman-pengalaman perempuan pada masyarakat yang dikuasai
laki-laki. Cara kedua adalah dengan menuntut pembaruan- pembaruan hukum yang
tidak menguntungkan perempuan, dan mengubah hukum ini menjadi
peraturan-peraturan baru yang memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki[8].
2.
Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berupaya menghilangkan
struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan
isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih
disebabkan oleh faktor budaya alam.
Struktur ekonomi atau kelas di dalam
masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena itu,
untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan
laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktur secara mendalam, terutama
dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.
3.
Feminisme Radikal
Gerakan feminis radikal dapat
didefinisikan sebagi gerakan perempuan yang berjuang di dalam realitas seksual,
dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu gerakan ini terutama
mempersoalkan bagaimana caranya masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari
gerakan kaum feminis radikal bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan
laki-laki. Kelompok ekstrem ini menamakan kaum feminis lesbian. Mereka berkata
ini dari politik kaum feminis lesbian adalah berusaha menunjukkan bahwa
hubungan heteroksesual sebagai suatu lembaga dan ideologi merupakan benang
utama dari kekuatan laki-laki.
4. Feminisme Sosialis
Gerakan feminisme sosialis lebih
difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas.
Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok
yang ditindas oleh sistem partiarkhi. Contohnya, dengan menonjolkan isu-isu
betapa perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas,
sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat kopi untuk pada suami dan
sebagainya. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit
emosinya, dan secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung dengan
kelompok dominan ( laki-laki ). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas
perempuan dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem partiarkhi[9].
Menurut Drs. H. Yubahar Ilyas, Lc., M.A.
, para feminis yang beragama Islam, tapi tidak mempersoalkan ajaran Islam, baik
normativitas maupun historisitasnya, dan sepenuhnya berdasarkan perspektif
feminism, baik liberal, radikal, Marxis, Sosialis dan aliran lainnya, maka
feminis seperti itu tidak penulis kategorikan sebagai feminis Muslim.
Di antara para feminis Muslim kontemporer yang
mempersoalkan historisitas ajaran Islam adalah Asghar Ali Engineer, Riffat
Hasan dan Amina Wadud Muhsin. Dalam pandangan mereka bertiga, Al-Qur‟an tidak
melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki dan
perempuan, menurut mereka, setara dalam pandangan Allah SWT. Hanya para
mufassirlah ----yang hampir semuanya laki-laki itu--- yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur‟an secara tidak tepat. Di antara ayat-ayat yang penafsirannya
mereka persoalkan adalah ayat-ayat tentang penciptaan perempuan, kepimimpinan
rumah tangga, kesaksian dan kewarisan perempuan. Asghar Ali Engineer adalah
seorang pemikir dan teologi Islam dari India dengan reputasi internasional.
Untuk mendapatkan gambaran tentang.
bagaimana pandangan Asghar tentang hak-hak perempuan
dalam Islam mari kita kutip paragraf pengantar buku yang dia tulis sendiri :
“Walaupun
Al-Qur’an menganugerahkan status yang setara bagi laki- laki dan perempuan
dalam pengertian normatif, namun Al-Qur’an juga mengakui adanya superioritas
laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Namun, para teolog telah mengabaikan
konteks tersebut dan menjadikan laki-laki sebagai makhluk superior dalam pengertian
yang absolut.”[10]
Terakhir tentang Amina Wadud Muhsin, dalam
bukunya yang berjudul Wanita di dalam Al-Qur’an, Amina mencoba menafsirkan
kembali beberapa ayat-ayat tentang perempuan dengan metodologi model
hermeneutik, yaitu :
“Salah satu bentuk metode penafsiran kitab
suci, yang di dalam pengoperasiannya untuk memperoleh kesimpulan makna suatu
teks (ayat), selalu berhubungan dengan tiga aspek dari teks itu yakni : 1.
dDalam konteks apa suatu teks ditulis (jika dikaitkan dengan Al-Qur‟an, dalam konteks
apa ayat itu diwahyukan); 2. Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat)
tersebut (bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya) dan 3. Bagaimana
keseluruhan teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya. Kerapkali
perbedaan pendapat bisa dilacak dari variasi dalam penekanan ketiga aspek ini.”[11]
III. KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat disimpulkan
bahwa Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya.
Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dari segi anatomi biologi.
Selain itu, Berbicara hubungan wanita
dan pria dalam Islam pada prinsipnya dapat disebut sama artinya dengan
berbicara sekitar kemitrasejajaran pria dan wanita. Sebab dalam Islam secara
prinsip hubungan kedua jenis kelamin ini adalah sejajar di hadapan Allah
(khaliq).
Al qur‟an mengakui adanya perbedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut
bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungan satu pihak dan merugikan
pihak lainya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok al
qur‟an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang
(mawaddah wa rahmah) dilingkungan keluarga.
Dan yang terakhir, paham mengenai
feminisme menunculkan banyak aliran-aliran yaitu aliran Feminisme liberal,
Feminisme marx- sosialis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Sedangkan
para feminis muslim sendiri beranggapan bahwa Al-Qur’an
tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki
dan perempuan, menurut mereka, setara dalam pandangan Allah SWT. Hanya para
mufassirlah ----yang hampir semuanya laki-laki itu--- yang menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur‟an secara tidak tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Supiana. 2012.
Metodologi Studi Islam. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. Umar,
Nasaruddin. 1999.
Argumen Kesetaraan
Gender Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Paramadina. Bhasin,
Kamla dan Nighat Said
Khan, 1995.
Persoalan Pokok
Mengenai Feminisme dan Relevansinya, diterjemahkan S. Herlina. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Muhsin, Amina Wadud. 1994
Wanita di dalam Al-Qur’an, diterjemahkan
Yaziar Radianri. Bandung:Pustaka Engineer , Asghar Ali. 1994.
Hak-hak
Perempuan dalam Islam, diterjemahkan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Qahab, Gusnarib. 2008.
“Gender dalam Perspektif Islam” Jurnal Hunafa
Vol. 5, No. 2
[1] Supiana,
“Metodologi Studi Islam”, (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012)
hlm. 329
[3] Gusnarib
wahab, “Gender dalam Perspektif Islam” Jurnal Hunafa Vol. 5, No. 2, Agustus
2008, hlm.228
[4] Nasaruddin
Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina,
1999), h. 35.
[6] [1218] Yang
dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan
larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini
ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.
[7] Kamla
Bhasin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, terjemahan S. Herlina (jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995),
hlm. 4.
[10] Asghar
Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici
Farkha Assegaf (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. Xi-xii.
[11] Amina
Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terjemahan Yaziar Radianri
(Bandung:Pustaka, 1994), hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar