menu

Kamis, 26 Februari 2015

PENDEKATAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Pada dekade terakhir ini semakin merebak perdebatan tentang ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan. Terutama Islam, banyak orang yang mulai mempertanyakan ajaran-ajaran agama yang terkesan bias gender. Dalam beberapa tradisi agama ditemukan beberapa hal yang terkesan mendiskreditkan perempuan. Islam, yang secara normatif mengajarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari pemahaman bias gender. Hal ini mengandung tanda tanya besar di kalangan pemeluknya. Adakah kesalahan terletak pada teksnya ataukah pada cara memahaminya? Mungkinkah Islam mengajarkan prinsip kesetaraan itu memuat hal yang kontradiktif, seperti memandang rendah perempuan? Untuk mengungkap berbagai persoalan tersebut diperlukan kajian mendalam tentang ajaran Islam dari aspek tekstual dan kontekstualnya. Dalam makalah ini penulis membagi pembahasan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Definisi dan Konsep gender
2. Gender dalam pandangan Islam
3. Feminisme dan Feminis Muslim






BAB II
PEMBAHASAN
A.             Definisi dan Konsep Gender
Kata Gender berasal dari Bahasa Inggris gender yang berarti jenis kelamin. Menurut Nasaruddin Umar, pengertian ini kurang tepat, sebab dengan pengertian tersebut Gender disamakan dengan sex yang berarti jenis kelamin pula. Persoalan ini muncul barangkali adalah karena kata Gender termasuk kosa kata baru, sehingga pengertiannya belum ditemukan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia[1].
Meskipun kata Gender belum masuk dalam perbendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim dipergunakan, khususnya, di Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dengan ejaan „Gender‟. Gender diartikan sebagai penafsiran yang bersifat mental (interpretasi mental) dan budaya (cultural) terhadap perbedaan kelamin, laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang tepat bagi laki-laki dan perempuan[2].
Gender sebagai alat analisis umumnya digunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem. Gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis dan perbedaan jenis kelamin adalah kodrat Tuhan sehingga secara permanen berbeda. Sementara gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang socially-constructed, yaitu perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan melalui proses panjang dalam kehidupan sosial dan budaya[3].
Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial- budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non-biologis lainnya[4].
 Mansoer Fakih menguraikan pengertian Gender secara lebih detail beserta contoh contohnya. Menurutnya, Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dan sifat-sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang rasional, kuat dan perkasa[5].
 Perubahan ciri dan sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Jadi yang disebut Gender adalah semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain. Oleh karena itu pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab antara kaum perempuan dan laki-laki.
B.          Gender dalam Pandangan Islam
 Berbicara tentang Gender, sama artinya dengan berbicara sekitar hubungan wanita dan pria. Berbicara hubungan wanita dan pria dalam Islam pada prinsipnya dapat disebut sama artinya dengan berbicara sekitar kemitrasejajaran pria dan wanita. Sebab dalam Islam secara prinsip hubungan kedua jenis kelamin ini adalah sejajar di hadapan Allah (khaliq).
Ada sejumlah nash yang berbicara tentang kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki yang dapat dikelompokkan minimal menjadi delapan, yakni: (1) statemen umum tentang kesetaraan wanita dan pria, (2) asal usul, (3) „Amal, (4)saling kasih dan mencintai, (5) keadilan dan persamaan, (6) jaminan sosial, (7) saling tolong menolong, dan (8) kesempatan mendapat pendidikan. (Khoeruddin Nasution, 2007:185).
Adapun sebab-sebab lahirnya konsep bias Gender dalam Islam adalah sebagai akibat dari sepuluh faktor, yakni: (1) Penggunaan studi Islam yang parsial, (2) Belum ada kesadaran pentingnya pembedaan nash menjadi normatif-universal dengan praktistemporal, (3) terkesan sejumlah Nash memarginalkan wanita, sebagai akibat penggunaan parsial, (4) budaya-budaya Muslim merasuk terhadap ajaran Islam, (5) dominasi teologi laki-laki dalam memahami nash, (6)kajian Islam dengan pendekatan agama murni, (7) generalisasi (mengambil hukum umum) dari kasus khusus, (8) mengambil hukum sebagai produk hukum dari penetapan hukum berdasarkan siyasah al-Syar‟iyah, (9) kajian Islam yang literalis dan historis (tekstual), dan (10) peran Kekuasaan (penguasa). (Khoeruddin Nasution, 2007:185). Sebenarnya, dalam Islam telah ditetapkan bahwa kedudukan wanita antara lain sebagai berikut:
1. Wanita adalah rekan, pasangan pria. Pria adalah pasangan wanita (An- Nisa : 1, an-Nahl :72, al- Baqarah:187, ar- Ruum :21, al- A‟raf :189, at- taubah :71, al- Hujurat :13)
2. Wanita dan pria sama-sama mendapatkan pahala atas pandangan, sikap, dan perbuatan mereka di dunia (al- Ahzab:35, al- Jin :38, al- Imran:195)
3. Iman pria dan wanita dinilai sama dalam pandangan Islam (al- Ahzab:35, al- Buruj : 10, Muhammad:19)
4. Wanita dan pria sama-sama dapat berusaha memperoleh, memiliki dan membelanjakan harta kekayaan (al- Insyirah:4,32)
5. Wanita dan pria sama-sama memiliki hak waris (an- Nisa : 7)
6. Kaidah pokok pernikahan Islam adalah monogami sedang poligami diizinkan sebagai tidakan darurat.(Anshari,1994:76).
Al quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungan satu pihak dan merugikan pihak lainya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok al qur‟an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dilingkungan keluarga. Hal tersebut merupakan cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Ini semua bisa terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara keduanya (laki-laki dan perempuan).
Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki- laki. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, dari hakikat kemanusiaanya. Islam memberikan sejumlah hak kepada perempuan dalam rangka peningkatan kualitas kemanusiaanya. Hak tersebut antara lain : waris (QS.AnNisa/4 : 11), persaksian (QS.Al- Baaqarah/2 : 282), aqiqah (QS.AT-Taubah/9 :21), dan lain lain.
Kedua, Islam mengajarkan bahwa baik perempuan maupun laki laki mendapat pahala yang sama atas amal shaleh yang dibuatnya. Sebaliknya, laki-laki dan perempuan memperoleh azab yang sama atas pelanggaran yang diperbuatnya.
Ketiga, Islam tidak mentolelir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antar umat manusia. Hal ini ditegaskan dalam firmanNya :
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
  Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat :13)
Dari ayat tersebut tampak jelas bagaimana hubungan antara laki- laki dan perempuan diatur oleh norma agama. Ayat tersebut sekaligus memberi penjelasan bahwa pada dasarnya diciptakan sama, meskipun berasal dari bangsa atau suku yang berlainan. Secara lebih jelas, hubungan antar jenis kelamin atu prinsip gender dalam Islam ditegaskan dalam  (QS.Al-Azhab/33 : 35)
¨bÎ) šúüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#ur šúüÏZÏB÷sßJø9$#ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur tûüÏGÏZ»s)ø9$#ur ÏM»tFÏZ»s)ø9$#ur tûüÏ%Ï»¢Á9$#ur ÏM»s%Ï»¢Á9$#ur tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur ÏNºuŽÉ9»¢Á9$#ur tûüÏèϱ»yø9$#ur ÏM»yèϱ»yø9$#ur tûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#ur ÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#ur tûüÏJÍ´¯»¢Á9$#ur ÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#ur šúüÏàÏÿ»ptø:$#ur öNßgy_rãèù ÏM»sàÏÿ»ysø9$#ur šúï̍Å2º©%!$#ur ©!$# #ZŽÏVx. ÏNºtÅ2º©%!$#ur £tãr& ª!$# Mçlm; ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $VJÏàtã ÇÌÎÈ
Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218][6], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Jika kita meletakkan beberapa ayat diatas secara bersama-sama dan melihatnya secara tepat sesuai dengan dimensi waktu, jelaslah bahwa Allah tidak membeda-bedakan jenis kelamin atau kodrat yang dibawa sejak lahir. Lalu, bagaimana dengan kemunculan beberapa hadist yang terkesan memojokkan perempuan, sehingga membentuk rasa benci terhadap perempuan ? dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (hubungan Gender) ada sebuah hadist yang sangat populer dan terkesan memojokkan perempuan, yaitu : “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinanya kepada perempuan.”
Pembacaan hadist diatas harus dilakukan secara kritis. Hadist ini tidak dapat diterjemahkan bila dihadapkan pada bukti-bukti sejarah. Bahkan Islam sendiri mengabadikan kesuksesan kepemimpinan perempuan sebagaimana dilukiskan dalam diri Ratu Balqis. Kisah kebesaran Ratu Balqis diuraikan paling tidak dalam dua surah yakni an- Naml dan al-Anbiya‟.
 Ada sementara pendapat yang mengatakan, bisa jadi as-bab al- wurud hadist ini merupakan respons spontan Nabi terhadap keinginan Raja Kisra di Persia untuk mewariskan kepemimpinan kepada anak perempuanya yang memang belum siap saat itu.
Bagaimana pula terhadap hadist yang emngatakan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok ? Dalam sebuah hadist disebutkan: Dari Abu Hurairah ra berkata, “Nasihatilah olehmu wanita, sebab wanita itu tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, jika kau paksa meluruskanya dengan kekerasan, pasti dia akan tetap bengkok. Karena itu, nasihatilah olehmu wanita.”
                           Hadist tersebut memberikan kesan bahwa perempuan merupakan ciptaan kedua, sementara laki-laki adalah ciptaan pertama dan utama. Tentu saja yang dimaksud laki-laki disini adalah Adam dan yang perempuan adalah Hawa.
Ketika hadist ini diuji dan diperbandingkan dengan ayat-ayat Al- Qur‟an ada 30-an ayat yang berbicara tentang penciptaan manusia-tak satupun ayat yang dapat ditafsirkan sebagai penegasan atau merujuk pada keyakinan bahwa laki-laki diciptakan terlebih dahulu ketimbang perempuan atau bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki. Beberapa ayat dapat ditafsirkan bahwa penciptaan pertama (nafsin wahidah) justru bersifat perempuan, bukan laki-laki.
Dengan demikian, jelas bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan hubungan kemitraan yang sejajar. Sekali lagi, ini ditegaskan dalam firman-Nya (Q.S. at-Taubah/9 : 71).
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya : “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
C. Feminisme dan Feminis Muslim
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua orang Feminis dari Asia Selatan, tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima oleh atau diterapkan kepada semua feminis dalam semua waktu dan disemua tempat. Karena feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan
     teoritisnya dari suatu rumusan teori tunggal. Definisi feminisme berubah- ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi lahirbya faham ini, dan perbedaan tingkat kesadaran, persepsi serta tindakan yang dilakukan oleh para feminis itu sendiri[7].
Menurut kaum feminis, penindasan dan pemerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang diungkapkan dalam definisi diatas hanyalah salah satu saja dari fenomena ketidakadilan gender (gender ineaqualities) yang menimpa kaum perempuan. Secara lebih lengkap Mansour Fakih, seorang feminis Muslim Indonesia menyebutkan lima fenomena ketidakadilan gender lainnya yaitu :
1) Marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada kemiskinan ekonomi perempuan.
2) Subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
3) Stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Masyarakat punya kecenderungan menyalahkan perempuan sebagai korban perkosaan akibat stereotype tadi.
4) Berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan dengan laki-laki sehingga laki-laki leluasa melakukan kekerasan terhadap perempuan.
5) Pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki.
Akibatnya peremuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.
Karena kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan hanyalah salah satu saja dari kesadaran terhadap ketidakadilan gender, maka kiranya menurut hemat penulis, feminisme lebih tepat kalau didefinisikan sebagai berikut : “Kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
“Dalam analisis feminisme, sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal,diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial,kultural, melaui ajaran keagamaan bahkan oleh negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan—seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi. Kodrat laki-laki dan kodrat perempuan dipahami sebagai perbedaan gender. Misalnya sifat lemah lembut, sifat memelihara dan sifat emosional yang dimiliki oleh kaum perempuan dikatakan sebagai kodrat kaum perempuan.
Karena perspektif ekofeminisme tidak lagi sejalan dengan paradigma utama feminisme yaitu menolak konsep gender sebagai sesuatu yang kodrati tapi merupakan hasil konstruksi sosio-kultural, maka dalam pembahasan selanjutnya penulis tidak akan memasukkan ekofeminisme sebagai salah satu dari aliran-aliran feminisme, apalagi aliran ini belum merupakan aliran yang besar dibandingkan dengan keempat aliran yang akan diuraikan di bawah ini.
1. Feminisme Liberal
Dasar filosofis gerakan aliran ini adalah liberalisme, yakni bahwa semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama, dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya.

Bagi kaum feminis liberal ada dua cara untuk mencapai tujuan ini. Pertama adalah melakukan pendekatan psikologis dengan cara membangkitkan kesadaran individu, antara lain melalui diskusi-diskusi yang membicarakan pengalaman-pengalaman perempuan pada masyarakat yang dikuasai laki-laki. Cara kedua adalah dengan menuntut pembaruan- pembaruan hukum yang tidak menguntungkan perempuan, dan mengubah hukum ini menjadi peraturan-peraturan baru yang memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki[8].
2. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.
Struktur ekonomi atau kelas di dalam masyarakat memberikan pengaruh efektif terhadap status perempuan, karena itu, untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan supaya seimbang dengan laki-laki, diperlukan peninjauan kembali struktur secara mendalam, terutama dengan menghapuskan dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik.
3. Feminisme Radikal
Gerakan feminis radikal dapat didefinisikan sebagi gerakan perempuan yang berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya. Karena itu gerakan ini terutama mempersoalkan bagaimana caranya masyarakat. Kelompok yang paling ekstrem dari gerakan kaum feminis radikal bahkan berusaha memutuskan hubungannya dengan laki-laki. Kelompok ekstrem ini menamakan kaum feminis lesbian. Mereka berkata ini dari politik kaum feminis lesbian adalah berusaha menunjukkan bahwa hubungan heteroksesual sebagai suatu lembaga dan ideologi merupakan benang utama dari kekuatan laki-laki.
4. Feminisme Sosialis
Gerakan feminisme sosialis lebih difokuskan kepada penyadaran kaum perempuan akan posisi mereka yang tertindas. Menurut mereka banyak perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang ditindas oleh sistem partiarkhi. Contohnya, dengan menonjolkan isu-isu betapa perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dikurung dalam sangkar emas, sampai pada isu mengapa perempuan yang harus membuat kopi untuk pada suami dan sebagainya. Timbulnya kesadaran ini akan membuat kaum perempuan bangkit emosinya, dan secara kelompok diharapkan mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan ( laki-laki ). Semakin tinggi tingkat konflik antara kelas perempuan dan kelas dominan, diharapkan dapat meruntuhkan sistem partiarkhi[9].
Menurut Drs. H. Yubahar Ilyas, Lc., M.A. , para feminis yang beragama Islam, tapi tidak mempersoalkan ajaran Islam, baik normativitas maupun historisitasnya, dan sepenuhnya berdasarkan perspektif feminism, baik liberal, radikal, Marxis, Sosialis dan aliran lainnya, maka feminis seperti itu tidak penulis kategorikan sebagai feminis Muslim.
Di antara para feminis Muslim kontemporer yang mempersoalkan historisitas ajaran Islam adalah Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin. Dalam pandangan mereka bertiga, Al-Qur‟an tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan, menurut mereka, setara dalam pandangan Allah SWT. Hanya para mufassirlah ----yang hampir semuanya laki-laki itu--- yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an secara tidak tepat. Di antara ayat-ayat yang penafsirannya mereka persoalkan adalah ayat-ayat tentang penciptaan perempuan, kepimimpinan rumah tangga, kesaksian dan kewarisan perempuan. Asghar Ali Engineer adalah seorang pemikir dan teologi Islam dari India dengan reputasi internasional. Untuk mendapatkan gambaran tentang.
bagaimana pandangan Asghar tentang hak-hak perempuan dalam Islam mari kita kutip paragraf pengantar buku yang dia tulis sendiri :
“Walaupun Al-Qur’an menganugerahkan status yang setara bagi laki- laki dan perempuan dalam pengertian normatif, namun Al-Qur’an juga mengakui adanya superioritas laki-laki dalam konteks sosial tertentu. Namun, para teolog telah mengabaikan konteks tersebut dan menjadikan laki-laki sebagai makhluk superior dalam pengertian yang absolut.”[10]
 Terakhir tentang Amina Wadud Muhsin, dalam bukunya yang berjudul Wanita di dalam Al-Qur’an, Amina mencoba menafsirkan kembali beberapa ayat-ayat tentang perempuan dengan metodologi model hermeneutik, yaitu :
 “Salah satu bentuk metode penafsiran kitab suci, yang di dalam pengoperasiannya untuk memperoleh kesimpulan makna suatu teks (ayat), selalu berhubungan dengan tiga aspek dari teks itu yakni : 1. dDalam konteks apa suatu teks ditulis (jika dikaitkan dengan Al-Qur‟an, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan); 2. Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut (bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya) dan 3. Bagaimana keseluruhan teks (ayat), Weltanschauung-nya atau pandangan hidupnya. Kerapkali perbedaan pendapat bisa dilacak dari variasi dalam penekanan ketiga aspek ini.”[11]





III. KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa Istilah gender digunakan berbeda dengan sex. Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara sex digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Selain itu, Berbicara hubungan wanita dan pria dalam Islam pada prinsipnya dapat disebut sama artinya dengan berbicara sekitar kemitrasejajaran pria dan wanita. Sebab dalam Islam secara prinsip hubungan kedua jenis kelamin ini adalah sejajar di hadapan Allah (khaliq).
Al qur‟an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungan satu pihak dan merugikan pihak lainya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok al qur‟an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dilingkungan keluarga.
Dan yang terakhir, paham mengenai feminisme menunculkan banyak aliran-aliran yaitu aliran Feminisme liberal, Feminisme marx- sosialis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Sedangkan para feminis muslim sendiri beranggapan bahwa Al-Quran tidak melihat inferioritas perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan, menurut mereka, setara dalam pandangan Allah SWT. Hanya para mufassirlah ----yang hampir semuanya laki-laki itu--- yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an secara tidak tepat.






DAFTAR PUSTAKA
  Supiana. 2012. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. Umar, Nasaruddin. 1999.
  Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Paramadina. Bhasin,
  Kamla dan Nighat Said Khan, 1995.
  Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, diterjemahkan S. Herlina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Muhsin, Amina Wadud. 1994
Wanita di dalam Al-Qur’an, diterjemahkan Yaziar Radianri. Bandung:Pustaka Engineer , Asghar Ali. 1994.
Hak-hak Perempuan dalam Islam, diterjemahkan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Qahab, Gusnarib. 2008.
“Gender dalam Perspektif Islam” Jurnal Hunafa Vol. 5, No. 2


[1] Supiana, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012) hlm. 329
[2] Ibid. hlm. 330
[3] Gusnarib wahab, “Gender dalam Perspektif Islam” Jurnal Hunafa Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm.228
[4] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 35.
[5] Supiana. Op.cit. hlm. 330
[6] [1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.
[7] Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, terjemahan S. Herlina (jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 4.
[8] Arief Budiman, Pembagian Kerja, hlm. 40-41.
[9] Ratna Megawangi, “Perkembangan”, hlm. 10.
[10] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. Xi-xii.
[11] Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, terjemahan Yaziar Radianri (Bandung:Pustaka, 1994), hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar